DAFTAR
ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL............................................................................................. iii
BAB 1.
PENDAHULUAN
Latar belakang......................................................................................... 1
Tujuan...................................................................................................... 1
BAB II. TINJAUAN
PUSTAKA
Protein...................................................................................................... 2
Daging..................................................................................................... 2
Teknik
pengolahan................................................................................... 3
Produk olahan
dan daging sapi................................................................ 3
Reaksi protein
pada proses pengolahan................................................... 4
Analisis protein........................................................................................ 6
BAB III. METODE
PENELITIAN
Alat dan bahan......................................................................................... 8
Prosedur................................................................................................... 8
BAB IV. HASIL
DAN PEMBAHASAN
Kadar Protein
Kasar................................................................................ 10
Daya Cerna
Protein Secara In Vitro........................................................ 12
Protein Tercerna....................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 2.1 Komposisi Gizi Daging Ayam,
Sapi, Kambing, dan Babi.................... 2
Tabel 2.2 Komposisi Asam Amino Esensial
Daging Sapi..................................... 3
Tabel 4.1 Kadar Protein Kasar, Daya
Cerna Protein Secara In Vitro, dan Kadar Protein Tercerna Pada Daging Sapi
Segar dan Produk Olahannya............................................................... 10
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Salah satu nutrien yang
sangat penting untuk tubuh adalah protein yang berfungsi sebagai zat pembangun
dan pengatur. Protein juga dapat berfungsi sebagai sumber energi jika
karbohidrat dan lemak tidak tersedia lagi. Protein secara umum dibagi menjadi
protein hewani dan protein nabati. Protein hewani memiliki keistimewaan bila
dibandingkan dengan protein nabati, karena protein hewani lebih kompleks
susunan asam aminonya.
Daging merupakan sumber
nutrisi yang berkualitas bagi manusia terutama sebagai sumber protein. Selain
kandungan proteinnya yang tinggi, juga memiliki kualitas yang tinggi. Kualitas
protein dapat dilihat dari komposisi asam amino penyusun dan daya cerna protein
yang menentukan ketersediaan asam amino secara biologis. Daging dapat diolah
dengan berbagai cara. Pengolahan bahan makanan dilakukan dengan berbagai
tujuan, diantaranya meningkatkan nilai tambah, memperpanjang masa simpan,
meningkatkan nilai gizi, meningkatkan penerimaan terhadap produk
menganekaragamkan produk olahan pangan dan
meningkatkan daya cerna protein, akan tetapi di satu sisi dapat pula menurunkan
nilai gizi proteinnya. Peningkatan daya cerna protein pada proses pemasakan
dapat terjadi sebagai akibat terdenaturasinya protein dan inaktivasi
senyawa-senyawa antinutrisi. Penurunan nilai gizi suatu protein
dapat disebabkan oleh perlakuan suhu yang tidak terkontrol yang dapat merusak
asam-asam amino bahan pangan hasil ternak.
1.2. Tujuan
Penelitian ini
dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari nilai gizi protein produk olahan
daging yang meliputi kadar dan kecernaan protein, serta karakteristiknya
melalui elektroforesis.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
Protein
Protein merupakan makro
molekul yang berlimpah di dalam sel dan menyusun lebih dari setengah berat
kering yang hampir pada semua organisme (Lehninger, 1998). Molekul protein
terutama tersusun oleh atom karbon (51,0-55,0%), hidrogen (6,5-7,3%), oksigen
(21,5-23,5%), nitrogen (15,5-18,0%) dan sebagian besar mengandung sulfur
(0,5-2,0%) dan fosfor (0,0-1,5%) (Anggorodi, 1979). Kegunaan utama protein bagi
tubuh adalah sebagai zat pembangun tubuh, sebagai zat pengatur, mengganti
bagian tubuh yang rusak, serta mempertahankan tubuh dari serangan mikroba
penyebab penyakit. Selain itu protein dapat juga digunakan sebagai sumber
energi (kalori) bagi tubuh, bila energi yang berasal dari karbohidrat atau
lemak tidak mencukupi (Muchtadi, 1993).
Nilai gizi protein
ditentukan oleh kandungan dan daya cerna asam-asam amino essensial. Daya cerna
akan menentukan ketersediaan asam-asam amino tersebut secara biologis. Proses
pengolahan selain dapat meningkatkan daya cerna suatu protein, dapat pula
menurunkan nilai gizinya (Muchtadi, 1989). Kebutuhan protein setiap manusia
adalah 1 g/kg berat badan yang seperempat dari kebutuhan tersebut harus
dipenuhi dari protein hewani, salah satunya adalah dari daging (Winarno, 1980).
2.2.
Daging
Daging
sapi merupakan daging merah yang sering dikonsumsi oleh rakyat Indonesia.
Komponen bahan kering yang terbesar dari daging adalah protein sehingga nilai
nutrisi dagingnya pun tinggi (Muchtadi dan Sugiono, 1992). Komposisi protein
daging sapi dapat dilihat pada Tabel 2.1. Selain itu bila ditinjau dari asam
aminonya, daging memiliki komposisi asam amino yang lengkap dan seimbang hal
ini dapat dilihat pada Tabel 2.2 (Kinsman et al., 1992).
Tabel
2.1. Komposisi Gizi Daging Ayam, Sapi, Kambing dan Babi
Jenis Daging
|
Komposis Daging
|
||
Protein
|
Air
|
Lemak
|
|
Ayam
|
18,20
|
55,9
|
25,0
|
Domba
|
17,1
|
66,3
|
14,8
|
Sapi
|
18,8
|
66,0
|
14,0
|
Kambing
|
16,6
|
70,3
|
9,2
|
Babi
|
11,9
|
42,0
|
45,0
|
Sumber: Departemen Kesehatan RI (1995)
Tabel
2.2. Komposisi Asam Amino Essensial Daging Sapi
Jenis Asam Amino Esensial
|
Kadar (g/100g N)
|
Histidin
|
21
|
Isoleusin
|
28
|
Leusin
|
49
|
Lisin
|
52
|
Metionin+Sistin
|
23
|
Phenilalanin+tirosin
|
45
|
Threonin
|
27
|
Triptofan
|
77
|
Valin
|
30
|
Sumber : Kinsman et al. (1992)
2.3.
Teknik Pengolahan
Proses pengolahan
selain dapat meningkatkan daya cerna suatu protein dapat pula menurunkan nilai
gizinya. Pengolahan atau pengawetan bahan pangan berprotein yang tidak
terkontrol dengan baik dapat menurunkan nilai gizi proteinnya karena protein
merupakan senyawa yang reaktif. Protein dengan asam amino sebagai sisi aktif
dapat bereaksi dengan komponen lain seperti gula pereduksi, polifenol, lemak,
dan produk oksidasinya serta bahan kimia aditif seperti alkali, belerang oksida
atau hidrogen peroksida (Muchtadi, 1989).
2.4.
Produk Olahan Daging Sapi
2.4.1. Bakso
Definisi bakso menurut
BSN (1995), bakso adalah produk makanan berbentuk bulatan atau lain, yang
diperoleh dari campuran daging lemak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan
pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan makanan yang diizinkan.
2.4.2. Sosis
Sosis merupakan produk
daging giling yang diberi bumbu dan dapat juga mengalami proses curing,
pemanasan, dan pengasapan (Muchtadi, 1989). Menurut
(BSN, 1995) sosis adalah produk makanan
yang diperoleh dari campuran daging halus (mengandung daging tidak kurang dari
75%) dengan tepung atau pati dengan atau tanpa penambahan bumbu-bumbu dan
tambahan makanan lain yang diizinkan dan dimasukkan ke dalam selubung sosis.
2.4.3. Dendeng
Dendeng merupakan
produk hasil olahan pengawetan daging secara tradisional yang secara umum
dibuat dari daging sapi (Purnomo, 1997). Menurut Winarno (1980) dendeng
merupakan satu produk awetan daging yang dikelompokkan sebagai daging curing.
2.4.4. Abon
Abon didefinisikan
sebagai suatu jenis makanan kering berbentuk khas, dibuat dari daging yang
direbus, disayat-sayat, dibumbui, digoreng dan dipres (BSN, 1995) sedangkan
menurut Sudarisman dan Elvina (1996) abon adalah hasil olahan yang terwujud
gumpalan-gumpalan serat daging yang halus dan kering.
2.4.5. Daging Panggang
Pemanggangan merupakan
metode dengan cara mengalirkan panas secara konveksi menggunakan oven tertutup
yang dipanaskan terlebih dahulu (Kinsman et al., 1994).
2.5.
Reaksi Protein pada Proses Pengolahan
2.5.1. Denaturasi Protein
Denaturasi merupakan
suatu perubahan struktur sekunder, tersier, dan kuartener terhadap molekul
protein tanpa terjadinya pemecahan ikatan kovalen.
Perlakuan panas, pH ekstrim, empera
gangguan fisik dan kimia dapat memicu terjadinya denaturasi (Brown, 2000). Davidek
et al. (1990) menyatakan bahwa proses
penggilingan daging menyebabkan protein terdenaturasi. Denaturasi oleh panas dapat mempermudah
hidrolisis protein oleh protease dalam usus halus. Akan tetapi panas juga dapat
menurunkan mutu protein akibat perombakan dan terperisainya gugus amino-epsilon
dari lisin protein asli yang menghambat hidrolisis oleh tripsin (Karmas and
Harris, 1989). Suhu antara 530C-630C menyebabkan kolagen
terdenaturasi. Protein otot mengalami denaturasi pada kisaran suhu antara 500C-800C
(1220F dan 1760F) (Tornberg, 2004).
2.5.2. Koagulasi Protein
Menurut Winarno (1997)
koagulasi terjadi setelah pengembangan molekul
protein yang terdenaturasi. Setelah
protein terdenaturasi unit ikatan gugus reaktif
pada rantai polipeptida yang terbentuk
cukup banyak sehingga protein tidak terdispersi lagi sebagai suatu koloid.
Koagulasi dapat terjadi pada suhu di atas 900C (Tornberg, 2004).
Koagulasi maksimum terjadi pada saat Temperatur antara 600C-650C
yang dicapai selama pemanasan (Davidek et al., 1990).
2.5.3. Rasemisasi Protein
Selama pemanasan bahan
pangan berprotein terjadi rasemisasi asam amino dan reaksi antar asam amino,
rasemisasi asam amino yaitu terbentuknya ikatan L-D, D-L atau D-D (Muchtadi,
1993). Rasemisasi asam amino adalah
perubahan konfigurasi asam amino dari bentuk L ke bentuk D (Astawan, 2005).
Proses pemanasan dengan suhu tinggi dalam waktu yang lama serta perlakuan
alkali menyebabkan terjadinya rasemisasi (Astawan, 2005 ; Muchtadi, 1993). Rasemisasi
yang disebabkan perlakuan alkali lebih menyebabkan penurunan daya cerna bila
dibandingkan dengan rasemisasi yang disebabkan perlakuan panas (Muchtadi,
1993).
2.5.4. Pembentukan Lisinoalanin dan
Lantionin
Lisinoalanin merupakan
reaksi antar asam amino yang ditemukan pada bahan pangan berprotein yang diberi
perlakuan alkali dan pemanasan dalam waktu lama. Pembentukan lisinoalanin dapat
berperan dalam penurunan daya cerna protein, karena apabila didegradasi senyawa
tersebut tidak menghasilkan asam amino lisin dan alanin dan apabila diserap tubuh
akan terbuang sebagai urin. Lantionin dibentuk dari reaksi dehidro alanin
dengan sistein (Muchtadi, 1993). Pembentukan lantionin juga terjadi pada
kondisi dengan perlakuan panas dan alkali. Adanya pembentukan lantionin
menyebabkan sistein yang tersedia pada bahan pangan berkurang separuhnya (Kelly
et al., 1980).
2.5.5.Reaksi Maillard
Sumber utama penyebab
menurunnya nilai gizi protein selama pengolahan dan penyimpanan adalah reaksi
browningnon enzimatis (reaksi Maillard), yaitu reaksi antara protein dengan
gula pereduksi (Muchtadi, 1993). Belitz and Grosch (1999) menyatakan bahwa
reaksi ini berlangsung antara gula-gula pereduksi dengan gugus amino dari
asam-asam amino atau protein (terutama e-amino dari lisin, dan α-amino dari
asam amino N-terminal). Secara umum, reaksi non-enzimatis browning hanya
terjadi jika ada asam amino bebas dan grup karbonil gula pereduksi yang diakhiri
dengan pembentukan melanoidin (Muchtadi dan Setiawaty, 1985). Suhu, waktu,
kelembaban, pH, konsentrasi dan reaktan alami mempengaruhi terjadinya reaksi
pencoklatan atau Maillard (Shahidi, 1998). Reaksi Maillard efektif terjadi pada
suhu tinggi (Muchtadi dan Setiawaty,1985). Penurunan nilai gizi ini terutama disebabkan
terjadinya reaksi pencoklatan (Maillard) selamaproses pengolahan. De Man (1997)
menyatakan bahwa asam amino lisin merupakan asam amino yang peka terhadap kerusakan
terutama pencoklatan non enzimatis, karena asam amino ini cenderung untuk
terikat pada senyawa karbonil melalui gugus ε-asam amino bebas.
2.6.
Analisis Protein
2.6.1. Protein Kasar
Protein kasar dalam
bahan makanan secara tidak langsung dapat dilakukan menggunakan analisis
kjeldhal (Budiyanto,2002). Dikatakan secara tidak langsung karena menurut
Budiyanto (2002) yang dianalisis dengan metode ini adalah kadar nitrogennya.
2.6.2. Daya Cerna
Kemampuan suatu protein
untuk dihidrolisa menjadi asam-asam amino oleh enzim-enzim pencernaan
(protease) dikenal dengan istilah daya cerna atau nilai kecernaan (Muchtadi,
1993). Tidak semua protein dapat dihidrolisis oleh enzim pencernaan menjadi
asam–asam amino. Protein tidak dapat masuk ke dalam sel karena ukuran molekulnya tidak memungkinkan kecuali asam
amino sebagai unit monomernya (Hawab, 2002). Protein harus terlebih dahulu
dihidrolisis menjadi asam amino oleh enzim pencernaan agar dapat masuk kedalam
sel dan dapat dimanfaatkan oleh sel tubuh. Pengukuran kualitas kecernaan protein
dapat dilakukan salah satunya dengan metode in vitro yang menggunakan enzim
protease. Enzim-enzim yang digunakan adalah pepsin–pankreatin, kimotripsin,
peptidase campuran dari beberapa macam enzim (multi enzim) (Muchtadi, 1989).
2.6.3.Elektroforesis
Salah satu cara atau
teknik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi enzim atau protein adalah elektroforesis
(Thohari et al., 1993). Prinsip yang digunakan dalam elektroforesis untuk
memisahkan molekul-molekul dengan muatan yang berbeda adalah molekul-molekul
biologis yang bermuatan listrik, yang besarnya tergantung pada jenis molekul,
pH, dan komponen medium pelarutnya dalam larutan akan bergerak ke arah
elektroda yang polaritasnya berlawanan dengan muatan molekul (Nur dan
Adijuwana, 1987).
BAB III
METODE
PENELITIAN
3.1.
Alat Dan Bahan
Alat yang digunakan
meliputi peralatan untuk pengolahan bakso, sosis, abon, dendeng dan daging
panggang. Selain itu dipergunakan pula alat-alat analisis laboratorium yang
meliputi peralatan analisis kadar protein kasar (labu Kjeldhal 30 ml, pemanas Kjeldhal,
alat destilasi, labu erlenmeyer 125 ml, kondensor), daya cerna protein secara
in vitro (labu erlenmeyer 50 ml, shaker, sentrifuse, kertas Whatman 41, oven)
dan alat yang digunakan untuk elektroforesis terdiri atas alat elektroforesis
dan penangas air.
Bahan-bahan yang
digunakan meliputi bahan utama, bahan tambahan dan bahan untuk analisis kimia.
Bahan utama yang digunakan adalah daging sapi bagian paha belakang (knuckle)
sebanyak 5,5 kg. Bahan-bahan untuk analisis laboratorium meliputi bahan untuk
analisis protein kasar (K2SO4, HgO, H2SO4,
HCl 0,01 M, NaOH, H3BO3, HCl 0,043664 N), kecernaan
protein secara in vitro (HCl 0,1 N, NaOH 0,5 N, larutan buffer fosfat 0,2 M pH
8 ) dan bahan untuk elektroforesis.
3.2.
Prosedur
3.2.1. Preparasi Sampel
Daging yang berasal
dari ternak sapi diolah menjadi bakso, sosis, dendeng, abon dan daging
panggang. Produk olahan dan daging segar dari ternak sapi tersebut kemudian
dianalisis mutu dan karakteristik proteinnya.
3.2.2. Perubah yang Diamati
Adapun
perubahan yang diamati dalam percobaan ini meliputi :
1.
Protein Kasar (metode Kjeldahl-Mikro)
(Apriyantono et al., 1988).
2.
Kecernaan Protein secara In Vitro (Saunders
et al., 1973).
3.
Elektroforesis (Laemmli, 1970).
3.2.3. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan
yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola searah dengan satu faktor perlakuan yaitu
berbagai proses pengolahan. Perlakuan yang dilakukan yaitu pembuatan produk
olahan bakso (T1), sosis (T2), dendeng (T3), abon (T4), daging panggang (T5)
dengan (T0) adalah daging segar. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3
kali. Pengujian peubah dilakukan dengan cara komposit yaitu dengan mengambil
1/3 bagian dari setiap ulangan sampel kemudian dicampur. Sampel hasil komposit
diaduk rata kemudian diambil sampel untuk dianalisa sesuai peubah yang diamati.
Interpretasi data dilakukan secara deskriptif.
BAB IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini
menggunakan berbagai macam teknik pengolahan yaitu pembuatan bakso, sosis,
abon, dendeng dan daging panggang. Proses tersebut melibatkan pemanasan dengan
metode yang berbeda. Semua produk tersebut dianalisis kadar protein kasar, daya
cerna protein secara in vitro dan kadar protein
tercerna. Hasil dari analisis tersebut
disajikan pada Tabel 4.1.
Tabel
4.1. Kadar Protein Kasar, Daya Cerna Protein Secara In Vitro dan Kadar Protein
Tercerna pada Daging Sapi Segar dan Produk Olahannya.
Jenis produk
|
Protein kasar (% b/b)
|
Daya cerana in vitro (% b/b)
|
Kadar protein tercerna (% b/b)
|
Daging
Segar
|
19,0
|
79,03
|
15,02
|
Bakso
|
11,16
|
83,27
|
9,29
|
Sosis
|
12,41
|
89,60
|
11,12
|
Abon
|
38,98
|
58,87
|
22,95
|
Dendeng
|
24,58
|
61,59
|
15,14
|
Daging Panggang
|
28,97
|
59,73
|
17,30
|
4.1
Kadar Protein Kasar
· Bakso
dan Sosis
Kandungan protein kasar
pada bakso menurun dari nilai protein kasar daging segar 19,0% menjadi 11,16%
untuk protein bakso. Penurunan ini disebabkan karena pada pengolahan menjadi
bakso terjadi proses penggilingan, pembumbuan, penambahan tepung, penambahan
garam, pembekuan daging dan perebusan. Proses penggilingan menyebabkan
denaturasi protein karena proses penggilingan menyebabkan kenaikan suhu akibat
panas. Namun demikian, denaturasi karena proses penggilingan dapat dicegah
dengan menambahkan es pada saat proses penggilingan agar suhu adonan dibawah 200C.
Hasil ini dibuktikan dengan suhu adonan bakso hanya mencapai 170C. Kandungan
protein sosis lebih rendah bila dibandingkan dengan kandungan protein daging
segar. Hal ini disebabkan dalam pembuatan sosis ditambahkan beberapa bahan
selain daging seperti tepung tapioka sehingga persentase kadar protein menjadi
menurun. Menurut Ridwanto (2003) penambahan tepung pada pembuatan sosis
meningkatkan kandungan karbohidrat, sehingga lebih tinggi dari kandungan
karbohidrat daging segar.
· Abon,
Dendeng dan Daging Panggang
Kadar
protein kasar dalam berat basah abon meningkat dibandingkan nilai protein
daging segarnya. Hal ini disebabkan karena pada penelitian ini menambahkan
santan dalam proses pembuatan abon, setelah itu abon digoreng dan terakhir
dikeringkan dengan oven. Hal tersebut dilakukan karena menurut Widiyanto (2002)
pembuatan abon dengan santan diperlukan proses lanjutan dengan cara digoreng
atau dikeringkan dengan oven, yang berfungsi untuk mengurangi kadar air. Proses
penggorengan menyebabkan kerusakan struktur protein yang terjadi mungkin lebih
banyak karena suhu pemanasan yang digunakan lebih tinggi. Namun karena hanya
sedikit air yang diuapkan selama penggorengan, komponen hasil dekomposisi
protein yang larut air pun hanya sedikit yang terlepas sedangkan senyawa
nitrogen hasil dekomposisi yang tidak larut air tetap dalam bahan sehingga
masih terukur dalam analisis kadar protein dengan metode Kjeldhal (Pramono et
al., 1985). Kadar protein dendeng lebih tinggi dibandingkan kandungan pada
daging segar hal ini disebabkan proses pengeringan. Proses pengeringan dendeng
dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu 700C selama 7 jam.
Sebelum dianalisis, dendeng digoreng pada suhu 1200C selama 2 menit
hingga matang. Menurut Winarno (1980) dengan mengurangi kadar air, bahan pangan
akan mengandung senyawa–senyawa seperti protein, karbohidrat, lemak dan mineral
dalam konsentrasi yang lebih tinggi.
Apabila dibandingkan kadar air daging segar (75,13%) dan dendeng (32,29%) maka
terbukti bahwa kadar air mempengaruhi persentase protein. Nilai protein kasar
daging panggang lebih tinggi dibandingkan daging segar karena pengolahan dengan
cara pengeringan akan mempengaruhi persentase protein. Semakin kecil kadar air
dalam bahan pangan maka semakin tinggi persentase protein yang dikandungnya.
Kadar air daging panggang 43,26% sedangkan kadar air daging segar adalah
75,13%. Rendahnya kadar air daging panggang menyebabkan persentase protein
lebih tinggi. Kandungan protein daging panggang pada penelitian ini adalah
28,97% lebih tinggi bila dibandingkan kadar protein daging panggang dalam
daftar komposisi zat gizi pangan Indonesia. Departemen Kesehatan RI (1995) menetapkan
kandungan protein daging panggang adalah 15,7%.
4.2
Daya Cerna Protein Secara In Vitro
· Bakso
dan Sosis
Pengolahan
menjadi bakso dan sosis menyebabkan nilai kecernaan protein meningkat
dibandingkan dengan daging segarnya. Adanya penambahan garam, perebusan dan
penggilingan menyebabkan terjadinya denaturasi. Peningkatan daya cerna ini
disebabkan pada pengolahan bakso pemanasan yang digunakan hanya mencapai 800C
dan sosis hanya mencapai 650C, kemungkinan yang terjadi adalah
denaturasi protein. Protein otot akan terdenaturasi pada suhu 500C-800C
(Tornberg, 2004). Denaturasi protein menyebabkan terbukanya lipatan protein
sehingga enzim pencernaan lebih mudah untuk menghidrolisis dan mudah memecah
protein menjadi monomer-monomer.
· Abon,
Dendeng dan Daging Panggang
Nilai kecernaan protein
abon, dendeng dan daging panggang lebih kecil dari daging segar. Nilai
kecernaan ketiga produk dalam penelitian ini digolongkan protein yang kurang
baik karena daya cerna abon kurang dari 80%. Rendahnya daya cerna abon
disebabkan pengolahan abon sangat kompleks. Proses ini menggunakan panas yang
tinggi dan waktu yang lama, sehingga menyebabkan protein terdegradasi dan daya
cerna menurun. Pembuatan abon menggunakan panas yang tinggi dan waktu yang
lama, menyebabkan tidak hanya terjadi denaturasi akan tetapi terjadi juga
rasemisasi, reaksi Maillard dan terbentuknya ikatan silang dalam protein
seperti lisinoalanin dan lantionin. Menurut Kasir (1999) terbentuknya ikatan
silang akan menurunkan kecernaan. Menurut Muchtadi (1989) reaksi Maillard
sangat nyata menurunkan daya cerna protein. Reaksi Maillard yang disebabkan
oleh bereaksinya gula pereduksi dan protein dengan menghasilkan produk akhir
berupa melanoidin yang tidak dapat kita cerna. Penambahan bumbu pada produk
juga dapat menyebabkan terhambatnya kecernaan seperti pada dendeng dengan
penambahan gula merah dapat memicu terjadinya reaksi Maillard yang dapat
menurunkan kecernaan protein dendeng. Selain itu, penggunaan
suhu pemasakan lebih dari 100oC menyebabkan menurunnya kecernaan.
Suhu tinggi menyebabkan tidak hanya membuka lipatan protein akan tetapi sudah
sampai memotong protein menjadi bagian–bagian kecil yang mungkin sudah menjadi
protein asing bagi enzim. Menurut Winarno (1997) denaturasi berat menyebabkan
protein terpotong dan bersifat irreversible. Protein yang telah terdegradasi
tidak dikenali lagi oleh enzim. Enzim memiliki daya kerja yang spesifik
sehingga hanya memecah protein-protein yang dikenalinya saja. Daging panggang
yang telah mengalami proses pembumbuan dan pengeringan pun mengalami proses
penurunan daya cerna enzim. Kemungkinan disebabkan telah terbentuknya melanoidin
sebagai hasil akhir reaksi Maillard yang ditandai dengan warna coklat yang
tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan, sehingga nilai kecernaan daging
panggang 59,73% sangat rendah bila dibandingkan dengan kecernaan daging segar
yang mencapai 79,03%.
4.3
Protein Tercerna
Protein tercerna merupakan hasil
perkalian antara protein kasar dan daya cerna in vitro. Protein tercerna
menunjukkan jumlah protein yang dapat digunakan atau dimanfaatkan oleh tubuh.
· Bakso
dan Sosis
Menurunnya
protein tercerna ini disebabkan oleh menurunnya kadar protein bakso dan sosis
dibandingkan dengan daging segar. Rendahnya nilai protein kasar menyebabkan
rendahnya pula nilai protein tercerna, begitu pula dengan daya cerna. Walaupun
daya cerna pada bakso dan sosis cukup tinggi, tetapi protein yang dapat
dimanfaatkan dalam bakso dan sosis sangat rendah. Nilai protein tercerna sangat
dipengaruhi oleh kadar protein kasar dan daya cerna yang hubungannya berbanding
lurus. Nilai protein tercerna tinggi dicapai bila kadar protein kasar dan daya
cerna suatu produk tinggi.
· Abon,
Dendeng dan Daging Panggang
Abon, dendeng dan
daging panggang mengalami proses pengeringan dengan oven. Ketiga produk ini
memiliki kadar protein yang lebih tinggi dari kadar protein daging segar. Daya
cerna abon, dendeng, dan daging panggang lebih kecil bila dibandingkan dengan
daya cerna pada daging segar, akan tetapi kadar protein yang sangat tinggi
menyebabkan protein tercerna pada setiap produk tersebut menjadi tinggi.
DAFTAR
PUSTAKA
Apriyantono, A., D. Fardiaz, N. L. Puspitasari,
Sedarnawati. dan S. Budiyanto. 1988. Analisis Pangan. Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Astawan, M. 2005.
http://www.waspada.co.id/serbaserbi/kesehatan/artikel.
Badan Standardisasi Nasional. 1995. Abon. SNI
01-3707-1995. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 1995. Santan. SNI
01-3816-1995. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 1995. Bakso. SNI
01-3818-1995. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 1995. Sosis.SNI
01-3820-1995. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Brown, A. 2000. Understanding Food, Principle and
Preparation. Wad Sworth Thomson Learning, Hawai.
Belitz and Grosch. 1999. Food Chemistry. Springer-
Verlag, Berlin.
Budiyanto, M. A. K. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Gizi.
Universitas Muhammadiyah Malang Press, Malang.
Davidek, J., J. Vellisek and J. Pokorny. 1990.
Chemical Change During Food Processing. Departement of Food Chemistry and
Analysis. Institute Chemical Technology, New York.
De Man, J. M. 1997. Kimia Makanan. Institut
Teknologi Bandung, Bandung.
Departemen Kesehatan RI. 1995. Daftar Komposisi Zat
Gizi Pangan Indonesia. Departemen Kesehatan RI, Indonesia, Departemen
Kesehatan, Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat Daftar Komposisi
Zat Gizi Pangan Indonesia, Jakarta.
Hawab, H. M. 2002. Pembebasan asam amino dari
protein berkeratin tinggi secara in vitro. Jurnal Ilmu-ilmu Kimia Vol 2 No. 2.
Karmas, E. dan R. Harris. 1989. Evaluasi Gizi pada
Pengolahan Bahan Pangan. Terjemahan: Achmadi, S. Institut Teknologi Bandung
Press, Bandung.
Kasir, W. K. 1999. Studi banding sifat kimia dan
organoleptik abon sapi, ayam, kelinci. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Kelly, R. B., David and John W. F. 1980. Studies on
the utilization of lysinoalanin and lanthionine. J. Nutr. 110 : 907-915.
Kinsman, D. M., A. W. Kotula and B. C.
Breindenstein. 1994. Muscle Food, Meat, Poultry and Seafood Technology. Chapman
and Hall, London.
Laemmli, U. K. 1970. Cleavage en struktural proteins
during the assembly of the head of bactioriophage T 4. Nature 227:680-685.
Lehninger, A. L. 1998. Dasar-dasar Biokimia.
Terjemahan : Thenawidjaja, M. Erlangga, Jakarta.
Muchtadi, D dan E. Setiawaty. 1985. Studies on
dendeng an Indonesian traditional preserved meat product. Media Teknologi
Pangan. 2(1) : 23-29.
Muchtadi, D. 1989. Petunjuk Laboratorium Evaluasi
Nilai Gizi Protein. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Muchtadi, D. 1989. Protein : Sumber-Sumber dan
Teknologi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Muchtadi, T. R. dan Sugiono. 1992. Ilmu Pengetahuan
Bahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Tinggi
Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Muchtadi, D. 1993. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein.
Program Pasca Sarjana. Insitut Pertanian Bogor, Bogor.
Muchtadi, D., Astawan, M. dan N. S Palupi. 1993.
Metabolisme Zat Gizi Sumber, Fungsi dan Kebutuhan bagi Kebutuhan Manusia.
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Nur, M. dan H. Adijuwana.1987. Teknik Separasi dalam
Analisis Pangan. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pramono, A. I., D. Muchatdi, T. R. Muchtadi. 1985.
Pembuatan dan evaluasi tahu bercita rasa daging. Media Teknologi Pangan
2(1):44-54.
Purnomo, H. 1997. Studi tentang stabilitasprotein
daging kering dan dendeng selama penyimpanan. Laporan Penelitian. Fakultas
Peternakan. Universitas Brawijaya, Malang.
Ridwanto, I. 2003. Kandungan gizi dan palatabilitas
sosis daging sapi dengan substitusi tepung tulang rawan ayam pedaging sebagai
bahan pengisi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Saunders R. M, M. A. Connor, A. N. Booth, E.M.
Bickoff and G.O. Kohler. 1972. Measurement of digestibility of alfalfa protein
concentrates by in vivoand in vitro methods. J. Nut. 103:530-535.
Setiawaty, E. 1985. Mempelajari beberapa sifat
protein dendeng sapi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Shahidi, S. 1998. Flavor of Meat, Meat Products and
Sea Food. Thomson Science, London.
Sudarisman, T dan Elvina A. R. 1996. Petunjuk
Memilih Produk Ikan dan Daging. Penebar Swadaya, Jakarta.
Thohari, M, B. Masyud, S. Supraptini. dan M. Cece.
1993. Analisis Perbandingan Polimorfisme Protein Darah dan Berbagai Jenis Rusa
di Indonesia dengan Menggunakan Elektroforesis. Konservasi Sumber Daya Hutan.
Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Tornberg. 2004. Effect of heat on meat
proteins-implication on stucture and quality of meat product. J. Meat Sci
70:493-508.
Widayanto, H. 2002. Komposisi kimia dan
karakteristik organoleptik abon daging domba dan daging kambing yang dimasak
dengan metode pemasakan yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Winarno , F. G. 1980. Pengantar Teknologi Pangan.
Gramedia Pustaka, Jakarta.
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi.
Gramedia, Jakarta.