Minggu, 06 Juli 2014

evaluasi nilai gizi dan karakteristik protein daging sapi dan hasil olahannya

DAFTAR ISI
     Halaman
HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL............................................................................................. iii
BAB 1. PENDAHULUAN
Latar belakang......................................................................................... 1
Tujuan...................................................................................................... 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Protein...................................................................................................... 2
Daging..................................................................................................... 2
Teknik pengolahan................................................................................... 3
Produk olahan dan daging sapi................................................................ 3
Reaksi protein pada proses pengolahan................................................... 4
Analisis protein........................................................................................ 6
BAB III. METODE PENELITIAN
Alat dan bahan......................................................................................... 8
Prosedur................................................................................................... 8
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Protein Kasar................................................................................ 10
Daya Cerna Protein Secara In Vitro........................................................ 12
Protein Tercerna....................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA




DAFTAR TABEL
Tabel                                                                                                        Halaman
Tabel 2.1 Komposisi Gizi Daging Ayam, Sapi, Kambing, dan Babi.................... 2
Tabel 2.2 Komposisi Asam Amino Esensial Daging Sapi..................................... 3
Tabel 4.1 Kadar Protein Kasar, Daya Cerna Protein Secara In Vitro, dan Kadar Protein Tercerna Pada Daging Sapi Segar dan Produk Olahannya............................................................... 10

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu nutrien yang sangat penting untuk tubuh adalah protein yang berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein juga dapat berfungsi sebagai sumber energi jika karbohidrat dan lemak tidak tersedia lagi. Protein secara umum dibagi menjadi protein hewani dan protein nabati. Protein hewani memiliki keistimewaan bila dibandingkan dengan protein nabati, karena protein hewani lebih kompleks susunan asam aminonya.
Daging merupakan sumber nutrisi yang berkualitas bagi manusia terutama sebagai sumber protein. Selain kandungan proteinnya yang tinggi, juga memiliki kualitas yang tinggi. Kualitas protein dapat dilihat dari komposisi asam amino penyusun dan daya cerna protein yang menentukan ketersediaan asam amino secara biologis. Daging dapat diolah dengan berbagai cara. Pengolahan bahan makanan dilakukan dengan berbagai tujuan, diantaranya meningkatkan nilai tambah, memperpanjang masa simpan, meningkatkan nilai gizi, meningkatkan penerimaan terhadap produk menganekaragamkan produk olahan pangan  dan meningkatkan daya cerna protein, akan tetapi di satu sisi dapat pula menurunkan nilai gizi proteinnya. Peningkatan daya cerna protein pada proses pemasakan dapat terjadi sebagai akibat terdenaturasinya protein dan inaktivasi senyawa-senyawa antinutrisi. Penurunan nilai gizi suatu protein dapat disebabkan oleh perlakuan suhu yang tidak terkontrol yang dapat merusak asam-asam amino bahan pangan hasil ternak.
1.2. Tujuan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari nilai gizi protein produk olahan daging yang meliputi kadar dan kecernaan protein, serta karakteristiknya melalui elektroforesis.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA        
2.1. Protein
Protein merupakan makro molekul yang berlimpah di dalam sel dan menyusun lebih dari setengah berat kering yang hampir pada semua organisme (Lehninger, 1998). Molekul protein terutama tersusun oleh atom karbon (51,0-55,0%), hidrogen (6,5-7,3%), oksigen (21,5-23,5%), nitrogen (15,5-18,0%) dan sebagian besar mengandung sulfur (0,5-2,0%) dan fosfor (0,0-1,5%) (Anggorodi, 1979). Kegunaan utama protein bagi tubuh adalah sebagai zat pembangun tubuh, sebagai zat pengatur, mengganti bagian tubuh yang rusak, serta mempertahankan tubuh dari serangan mikroba penyebab penyakit. Selain itu protein dapat juga digunakan sebagai sumber energi (kalori) bagi tubuh, bila energi yang berasal dari karbohidrat atau lemak tidak mencukupi (Muchtadi, 1993).
Nilai gizi protein ditentukan oleh kandungan dan daya cerna asam-asam amino essensial. Daya cerna akan menentukan ketersediaan asam-asam amino tersebut secara biologis. Proses pengolahan selain dapat meningkatkan daya cerna suatu protein, dapat pula menurunkan nilai gizinya (Muchtadi, 1989). Kebutuhan protein setiap manusia adalah 1 g/kg berat badan yang seperempat dari kebutuhan tersebut harus dipenuhi dari protein hewani, salah satunya adalah dari daging (Winarno, 1980).

2.2. Daging
            Daging sapi merupakan daging merah yang sering dikonsumsi oleh rakyat Indonesia. Komponen bahan kering yang terbesar dari daging adalah protein sehingga nilai nutrisi dagingnya pun tinggi (Muchtadi dan Sugiono, 1992). Komposisi protein daging sapi dapat dilihat pada Tabel 2.1. Selain itu bila ditinjau dari asam aminonya, daging memiliki komposisi asam amino yang lengkap dan seimbang hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.2 (Kinsman et al., 1992).
Tabel 2.1. Komposisi Gizi Daging Ayam, Sapi, Kambing dan Babi
Jenis Daging
Komposis Daging
Protein
Air
Lemak
Ayam 
18,20 
55,9 
25,0
Domba 
17,1 
66,3 
14,8
Sapi
18,8
66,0
14,0
Kambing
16,6
70,3
9,2
Babi
11,9
42,0
45,0
Sumber: Departemen Kesehatan RI (1995)
Tabel 2.2. Komposisi Asam Amino Essensial Daging Sapi
Jenis Asam Amino Esensial
Kadar (g/100g N)
Histidin
21
Isoleusin
28
Leusin
49
Lisin
52
Metionin+Sistin
23
Phenilalanin+tirosin
45
Threonin
27
Triptofan
77
Valin
30
Sumber : Kinsman et al. (1992)

2.3. Teknik Pengolahan
Proses pengolahan selain dapat meningkatkan daya cerna suatu protein dapat pula menurunkan nilai gizinya. Pengolahan atau pengawetan bahan pangan berprotein yang tidak terkontrol dengan baik dapat menurunkan nilai gizi proteinnya karena protein merupakan senyawa yang reaktif. Protein dengan asam amino sebagai sisi aktif dapat bereaksi dengan komponen lain seperti gula pereduksi, polifenol, lemak, dan produk oksidasinya serta bahan kimia aditif seperti alkali, belerang oksida atau hidrogen peroksida (Muchtadi, 1989).

2.4. Produk Olahan Daging Sapi
2.4.1. Bakso
Definisi bakso menurut BSN (1995), bakso adalah produk makanan berbentuk bulatan atau lain, yang diperoleh dari campuran daging lemak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan makanan yang diizinkan.
2.4.2. Sosis
Sosis merupakan produk daging giling yang diberi bumbu dan dapat juga mengalami proses curing, pemanasan, dan pengasapan (Muchtadi, 1989). Menurut
(BSN, 1995) sosis adalah produk makanan yang diperoleh dari campuran daging halus (mengandung daging tidak kurang dari 75%) dengan tepung atau pati dengan atau tanpa penambahan bumbu-bumbu dan tambahan makanan lain yang diizinkan dan dimasukkan ke dalam selubung sosis.
2.4.3. Dendeng
Dendeng merupakan produk hasil olahan pengawetan daging secara tradisional yang secara umum dibuat dari daging sapi (Purnomo, 1997). Menurut Winarno (1980) dendeng merupakan satu produk awetan daging yang dikelompokkan sebagai daging curing.
2.4.4. Abon
Abon didefinisikan sebagai suatu jenis makanan kering berbentuk khas, dibuat dari daging yang direbus, disayat-sayat, dibumbui, digoreng dan dipres (BSN, 1995) sedangkan menurut Sudarisman dan Elvina (1996) abon adalah hasil olahan yang terwujud gumpalan-gumpalan serat daging yang halus dan kering.
2.4.5. Daging Panggang
Pemanggangan merupakan metode dengan cara mengalirkan panas secara konveksi menggunakan oven tertutup yang dipanaskan terlebih dahulu (Kinsman et al., 1994).

2.5. Reaksi Protein pada Proses Pengolahan
2.5.1. Denaturasi Protein
Denaturasi merupakan suatu perubahan struktur sekunder, tersier, dan kuartener terhadap molekul protein tanpa terjadinya pemecahan ikatan kovalen.
Perlakuan panas, pH ekstrim, empera gangguan fisik dan kimia dapat memicu terjadinya denaturasi (Brown, 2000). Davidek et al.  (1990) menyatakan bahwa proses penggilingan daging menyebabkan protein terdenaturasi.  Denaturasi oleh panas dapat mempermudah hidrolisis protein oleh protease dalam usus halus. Akan tetapi panas juga dapat menurunkan mutu protein akibat perombakan dan terperisainya gugus amino-epsilon dari lisin protein asli yang menghambat hidrolisis oleh tripsin (Karmas and Harris, 1989). Suhu antara 530C-630C menyebabkan kolagen terdenaturasi. Protein otot mengalami denaturasi pada kisaran suhu antara 500C-800C (1220F dan 1760F) (Tornberg, 2004).
2.5.2. Koagulasi Protein
Menurut Winarno (1997) koagulasi terjadi setelah pengembangan molekul
protein yang terdenaturasi. Setelah protein terdenaturasi unit ikatan gugus reaktif
pada rantai polipeptida yang terbentuk cukup banyak sehingga protein tidak terdispersi lagi sebagai suatu koloid. Koagulasi dapat terjadi pada suhu di atas 900C (Tornberg, 2004). Koagulasi maksimum terjadi pada saat Temperatur antara 600C-650C yang dicapai selama pemanasan (Davidek et al., 1990).
2.5.3. Rasemisasi Protein
Selama pemanasan bahan pangan berprotein terjadi rasemisasi asam amino dan reaksi antar asam amino, rasemisasi asam amino yaitu terbentuknya ikatan L-D, D-L atau D-D (Muchtadi, 1993).  Rasemisasi asam amino adalah perubahan konfigurasi asam amino dari bentuk L ke bentuk D (Astawan, 2005). Proses pemanasan dengan suhu tinggi dalam waktu yang lama serta perlakuan alkali menyebabkan terjadinya rasemisasi (Astawan, 2005 ; Muchtadi, 1993). Rasemisasi yang disebabkan perlakuan alkali lebih menyebabkan penurunan daya cerna bila dibandingkan dengan rasemisasi yang disebabkan perlakuan panas (Muchtadi, 1993).
2.5.4. Pembentukan Lisinoalanin dan Lantionin
Lisinoalanin merupakan reaksi antar asam amino yang ditemukan pada bahan pangan berprotein yang diberi perlakuan alkali dan pemanasan dalam waktu lama. Pembentukan lisinoalanin dapat berperan dalam penurunan daya cerna protein, karena apabila didegradasi senyawa tersebut tidak menghasilkan asam amino lisin dan alanin dan apabila diserap tubuh akan terbuang sebagai urin. Lantionin dibentuk dari reaksi dehidro alanin dengan sistein (Muchtadi, 1993). Pembentukan lantionin juga terjadi pada kondisi dengan perlakuan panas dan alkali. Adanya pembentukan lantionin menyebabkan sistein yang tersedia pada bahan pangan berkurang separuhnya (Kelly et al., 1980).
2.5.5.Reaksi Maillard
Sumber utama penyebab menurunnya nilai gizi protein selama pengolahan dan penyimpanan adalah reaksi browningnon enzimatis (reaksi Maillard), yaitu reaksi antara protein dengan gula pereduksi (Muchtadi, 1993). Belitz and Grosch (1999) menyatakan bahwa reaksi ini berlangsung antara gula-gula pereduksi dengan gugus amino dari asam-asam amino atau protein (terutama e-amino dari lisin, dan α-amino dari asam amino N-terminal). Secara umum, reaksi non-enzimatis browning hanya terjadi jika ada asam amino bebas dan grup karbonil gula pereduksi yang diakhiri dengan pembentukan melanoidin (Muchtadi dan Setiawaty, 1985). Suhu, waktu, kelembaban, pH, konsentrasi dan reaktan alami mempengaruhi terjadinya reaksi pencoklatan atau Maillard (Shahidi, 1998). Reaksi Maillard efektif terjadi pada suhu tinggi (Muchtadi dan Setiawaty,1985). Penurunan nilai gizi ini terutama disebabkan terjadinya reaksi pencoklatan (Maillard) selamaproses pengolahan. De Man (1997) menyatakan bahwa asam amino lisin merupakan asam amino yang peka terhadap kerusakan terutama pencoklatan non enzimatis, karena asam amino ini cenderung untuk terikat pada senyawa karbonil melalui gugus ε-asam amino bebas.

2.6. Analisis Protein
2.6.1. Protein Kasar
Protein kasar dalam bahan makanan secara tidak langsung dapat dilakukan menggunakan analisis kjeldhal (Budiyanto,2002). Dikatakan secara tidak langsung karena menurut Budiyanto (2002) yang dianalisis dengan metode ini adalah kadar nitrogennya.
2.6.2. Daya Cerna
Kemampuan suatu protein untuk dihidrolisa menjadi asam-asam amino oleh enzim-enzim pencernaan (protease) dikenal dengan istilah daya cerna atau nilai kecernaan (Muchtadi, 1993). Tidak semua protein dapat dihidrolisis oleh enzim pencernaan menjadi asam–asam amino. Protein tidak dapat masuk ke dalam sel karena ukuran  molekulnya tidak memungkinkan kecuali asam amino sebagai unit monomernya (Hawab, 2002). Protein harus terlebih dahulu dihidrolisis menjadi asam amino oleh enzim pencernaan agar dapat masuk kedalam sel dan dapat dimanfaatkan oleh sel tubuh. Pengukuran kualitas kecernaan protein dapat dilakukan salah satunya dengan metode in vitro yang menggunakan enzim protease. Enzim-enzim yang digunakan adalah pepsin–pankreatin, kimotripsin, peptidase campuran dari beberapa macam enzim (multi enzim) (Muchtadi, 1989).
2.6.3.Elektroforesis
Salah satu cara atau teknik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi enzim atau protein adalah elektroforesis (Thohari et al., 1993). Prinsip yang digunakan dalam elektroforesis untuk memisahkan molekul-molekul dengan muatan yang berbeda adalah molekul-molekul biologis yang bermuatan listrik, yang besarnya tergantung pada jenis molekul, pH, dan komponen medium pelarutnya dalam larutan akan bergerak ke arah elektroda yang polaritasnya berlawanan dengan muatan molekul (Nur dan Adijuwana, 1987).

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Alat Dan Bahan
Alat yang digunakan meliputi peralatan untuk pengolahan bakso, sosis, abon, dendeng dan daging panggang. Selain itu dipergunakan pula alat-alat analisis laboratorium yang meliputi peralatan analisis kadar protein kasar (labu Kjeldhal 30 ml, pemanas Kjeldhal, alat destilasi, labu erlenmeyer 125 ml, kondensor), daya cerna protein secara in vitro (labu erlenmeyer 50 ml, shaker, sentrifuse, kertas Whatman 41, oven) dan alat yang digunakan untuk elektroforesis terdiri atas alat elektroforesis dan penangas air.
Bahan-bahan yang digunakan meliputi bahan utama, bahan tambahan dan bahan untuk analisis kimia. Bahan utama yang digunakan adalah daging sapi bagian paha belakang (knuckle) sebanyak 5,5 kg. Bahan-bahan untuk analisis laboratorium meliputi bahan untuk analisis protein kasar (K2SO4, HgO, H2SO4, HCl 0,01 M, NaOH, H3BO3, HCl 0,043664 N), kecernaan protein secara in vitro (HCl 0,1 N, NaOH 0,5 N, larutan buffer fosfat 0,2 M pH 8 ) dan bahan untuk elektroforesis.
3.2. Prosedur
3.2.1. Preparasi Sampel
Daging yang berasal dari ternak sapi diolah menjadi bakso, sosis, dendeng, abon dan daging panggang. Produk olahan dan daging segar dari ternak sapi tersebut kemudian dianalisis mutu dan karakteristik proteinnya.
3.2.2. Perubah yang Diamati
            Adapun perubahan yang diamati dalam percobaan ini meliputi :
1.      Protein Kasar (metode Kjeldahl-Mikro) (Apriyantono et al., 1988).
2.      Kecernaan Protein secara In Vitro (Saunders et al., 1973).
3.      Elektroforesis (Laemmli, 1970).
3.2.3. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola  searah dengan satu faktor perlakuan yaitu berbagai proses pengolahan. Perlakuan yang dilakukan yaitu pembuatan produk olahan bakso (T1), sosis (T2), dendeng (T3), abon (T4), daging panggang (T5) dengan (T0) adalah daging segar. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Pengujian peubah dilakukan dengan cara komposit yaitu dengan mengambil 1/3 bagian dari setiap ulangan sampel kemudian dicampur. Sampel hasil komposit diaduk rata kemudian diambil sampel untuk dianalisa sesuai peubah yang diamati. Interpretasi data dilakukan secara deskriptif.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunakan berbagai macam teknik pengolahan yaitu pembuatan bakso, sosis, abon, dendeng dan daging panggang. Proses tersebut melibatkan pemanasan dengan metode yang berbeda. Semua produk tersebut dianalisis kadar protein kasar, daya cerna protein secara in vitro dan kadar protein
tercerna. Hasil dari analisis tersebut disajikan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Kadar Protein Kasar, Daya Cerna Protein Secara In Vitro dan Kadar Protein Tercerna pada Daging Sapi Segar dan Produk Olahannya.
Jenis produk
Protein kasar (% b/b)
Daya cerana in vitro (% b/b)
Kadar protein tercerna (% b/b)
Daging Segar
19,0
79,03
15,02
Bakso
11,16
83,27
9,29
Sosis
12,41
89,60
11,12
Abon
38,98
58,87
22,95
Dendeng
24,58
61,59
15,14
Daging Panggang
28,97
59,73
17,30

4.1 Kadar Protein Kasar
·      Bakso dan Sosis
Kandungan protein kasar pada bakso menurun dari nilai protein kasar daging segar 19,0% menjadi 11,16% untuk protein bakso. Penurunan ini disebabkan karena pada pengolahan menjadi bakso terjadi proses penggilingan, pembumbuan, penambahan tepung, penambahan garam, pembekuan daging dan perebusan. Proses penggilingan menyebabkan denaturasi protein karena proses penggilingan menyebabkan kenaikan suhu akibat panas. Namun demikian, denaturasi karena proses penggilingan dapat dicegah dengan menambahkan es pada saat proses penggilingan agar suhu adonan dibawah 200C. Hasil ini dibuktikan dengan suhu adonan bakso hanya mencapai 170C. Kandungan protein sosis lebih rendah bila dibandingkan dengan kandungan protein daging segar. Hal ini disebabkan dalam pembuatan sosis ditambahkan beberapa bahan selain daging seperti tepung tapioka sehingga persentase kadar protein menjadi menurun. Menurut Ridwanto (2003) penambahan tepung pada pembuatan sosis meningkatkan kandungan karbohidrat, sehingga lebih tinggi dari kandungan karbohidrat daging segar.
·      Abon, Dendeng dan Daging Panggang
Kadar protein kasar dalam berat basah abon meningkat dibandingkan nilai protein daging segarnya. Hal ini disebabkan karena pada penelitian ini menambahkan santan dalam proses pembuatan abon, setelah itu abon digoreng dan terakhir dikeringkan dengan oven. Hal tersebut dilakukan karena menurut Widiyanto (2002) pembuatan abon dengan santan diperlukan proses lanjutan dengan cara digoreng atau dikeringkan dengan oven, yang berfungsi untuk mengurangi kadar air. Proses penggorengan menyebabkan kerusakan struktur protein yang terjadi mungkin lebih banyak karena suhu pemanasan yang digunakan lebih tinggi. Namun karena hanya sedikit air yang diuapkan selama penggorengan, komponen hasil dekomposisi protein yang larut air pun hanya sedikit yang terlepas sedangkan senyawa nitrogen hasil dekomposisi yang tidak larut air tetap dalam bahan sehingga masih terukur dalam analisis kadar protein dengan metode Kjeldhal (Pramono et al., 1985). Kadar protein dendeng lebih tinggi dibandingkan kandungan pada daging segar hal ini disebabkan proses pengeringan. Proses pengeringan dendeng dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu 700C selama 7 jam. Sebelum dianalisis, dendeng digoreng pada suhu 1200C selama 2 menit hingga matang. Menurut Winarno (1980) dengan mengurangi kadar air, bahan pangan akan mengandung senyawa–senyawa seperti protein, karbohidrat, lemak dan mineral dalam konsentrasi yang lebih  tinggi. Apabila dibandingkan kadar air daging segar (75,13%) dan dendeng (32,29%) maka terbukti bahwa kadar air mempengaruhi persentase protein. Nilai protein kasar daging panggang lebih tinggi dibandingkan daging segar karena pengolahan dengan cara pengeringan akan mempengaruhi persentase protein. Semakin kecil kadar air dalam bahan pangan maka semakin tinggi persentase protein yang dikandungnya. Kadar air daging panggang 43,26% sedangkan kadar air daging segar adalah 75,13%. Rendahnya kadar air daging panggang menyebabkan persentase protein lebih tinggi. Kandungan protein daging panggang pada penelitian ini adalah 28,97% lebih tinggi bila dibandingkan kadar protein daging panggang dalam daftar komposisi zat gizi pangan Indonesia. Departemen Kesehatan RI (1995) menetapkan kandungan protein daging panggang adalah 15,7%.

4.2 Daya Cerna Protein Secara In Vitro
·      Bakso dan Sosis
Pengolahan menjadi bakso dan sosis menyebabkan nilai kecernaan protein meningkat dibandingkan dengan daging segarnya. Adanya penambahan garam, perebusan dan penggilingan menyebabkan terjadinya denaturasi. Peningkatan daya cerna ini disebabkan pada pengolahan bakso pemanasan yang digunakan hanya mencapai 800C dan sosis hanya mencapai 650C, kemungkinan yang terjadi adalah denaturasi protein. Protein otot akan terdenaturasi pada suhu 500C-800C (Tornberg, 2004). Denaturasi protein menyebabkan terbukanya lipatan protein sehingga enzim pencernaan lebih mudah untuk menghidrolisis dan mudah memecah protein menjadi monomer-monomer.
·      Abon, Dendeng dan Daging Panggang
Nilai kecernaan protein abon, dendeng dan daging panggang lebih kecil dari daging segar. Nilai kecernaan ketiga produk dalam penelitian ini digolongkan protein yang kurang baik karena daya cerna abon kurang dari 80%. Rendahnya daya cerna abon disebabkan pengolahan abon sangat kompleks. Proses ini menggunakan panas yang tinggi dan waktu yang lama, sehingga menyebabkan protein terdegradasi dan daya cerna menurun. Pembuatan abon menggunakan panas yang tinggi dan waktu yang lama, menyebabkan tidak hanya terjadi denaturasi akan tetapi terjadi juga rasemisasi, reaksi Maillard dan terbentuknya ikatan silang dalam protein seperti lisinoalanin dan lantionin. Menurut Kasir (1999) terbentuknya ikatan silang akan menurunkan kecernaan. Menurut Muchtadi (1989) reaksi Maillard sangat nyata menurunkan daya cerna protein. Reaksi Maillard yang disebabkan oleh bereaksinya gula pereduksi dan protein dengan menghasilkan produk akhir berupa melanoidin yang tidak dapat kita cerna. Penambahan bumbu pada produk juga dapat menyebabkan terhambatnya kecernaan seperti pada dendeng dengan penambahan gula merah dapat memicu terjadinya reaksi Maillard yang dapat menurunkan kecernaan protein dendeng. Selain itu, penggunaan suhu pemasakan lebih dari 100oC menyebabkan menurunnya kecernaan. Suhu tinggi menyebabkan tidak hanya membuka lipatan protein akan tetapi sudah sampai memotong protein menjadi bagian–bagian kecil yang mungkin sudah menjadi protein asing bagi enzim. Menurut Winarno (1997) denaturasi berat menyebabkan protein terpotong dan bersifat irreversible. Protein yang telah terdegradasi tidak dikenali lagi oleh enzim. Enzim memiliki daya kerja yang spesifik sehingga hanya memecah protein-protein yang dikenalinya saja. Daging panggang yang telah mengalami proses pembumbuan dan pengeringan pun mengalami proses penurunan daya cerna enzim. Kemungkinan disebabkan telah terbentuknya melanoidin sebagai hasil akhir reaksi Maillard yang ditandai dengan warna coklat yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan, sehingga nilai kecernaan daging panggang 59,73% sangat rendah bila dibandingkan dengan kecernaan daging segar yang mencapai 79,03%.

4.3 Protein Tercerna
Protein tercerna merupakan hasil perkalian antara protein kasar dan daya cerna in vitro. Protein tercerna menunjukkan jumlah protein yang dapat digunakan atau dimanfaatkan oleh tubuh.
·      Bakso dan Sosis
Menurunnya protein tercerna ini disebabkan oleh menurunnya kadar protein bakso dan sosis dibandingkan dengan daging segar. Rendahnya nilai protein kasar menyebabkan rendahnya pula nilai protein tercerna, begitu pula dengan daya cerna. Walaupun daya cerna pada bakso dan sosis cukup tinggi, tetapi protein yang dapat dimanfaatkan dalam bakso dan sosis sangat rendah. Nilai protein tercerna sangat dipengaruhi oleh kadar protein kasar dan daya cerna yang hubungannya berbanding lurus. Nilai protein tercerna tinggi dicapai bila kadar protein kasar dan daya cerna suatu produk tinggi.
·      Abon, Dendeng dan Daging Panggang
Abon, dendeng dan daging panggang mengalami proses pengeringan dengan oven. Ketiga produk ini memiliki kadar protein yang lebih tinggi dari kadar protein daging segar. Daya cerna abon, dendeng, dan daging panggang lebih kecil bila dibandingkan dengan daya cerna pada daging segar, akan tetapi kadar protein yang sangat tinggi menyebabkan protein tercerna pada setiap produk tersebut menjadi tinggi.



DAFTAR PUSTAKA
Apriyantono, A., D. Fardiaz, N. L. Puspitasari, Sedarnawati. dan S. Budiyanto. 1988. Analisis Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Astawan, M. 2005. http://www.waspada.co.id/serbaserbi/kesehatan/artikel.
Badan Standardisasi Nasional. 1995. Abon. SNI 01-3707-1995. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 1995. Santan. SNI 01-3816-1995. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 1995. Bakso. SNI 01-3818-1995. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 1995. Sosis.SNI 01-3820-1995. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Brown, A. 2000. Understanding Food, Principle and Preparation. Wad Sworth Thomson Learning, Hawai.
Belitz and Grosch. 1999. Food Chemistry. Springer- Verlag, Berlin.
Budiyanto, M. A. K. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Gizi. Universitas Muhammadiyah Malang Press, Malang.
Davidek, J., J. Vellisek and J. Pokorny. 1990. Chemical Change During Food Processing. Departement of Food Chemistry and Analysis. Institute Chemical Technology, New York.
De Man, J. M. 1997. Kimia Makanan. Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Departemen Kesehatan RI. 1995. Daftar Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia. Departemen Kesehatan RI, Indonesia, Departemen Kesehatan, Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat Daftar Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia, Jakarta.
Hawab, H. M. 2002. Pembebasan asam amino dari protein berkeratin tinggi secara in vitro. Jurnal Ilmu-ilmu Kimia Vol 2 No. 2.
Karmas, E. dan R. Harris. 1989. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan. Terjemahan: Achmadi, S. Institut Teknologi Bandung Press, Bandung.
Kasir, W. K. 1999. Studi banding sifat kimia dan organoleptik abon sapi, ayam, kelinci. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kelly, R. B., David and John W. F. 1980. Studies on the utilization of lysinoalanin and lanthionine. J. Nutr. 110 : 907-915.
Kinsman, D. M., A. W. Kotula and B. C. Breindenstein. 1994. Muscle Food, Meat, Poultry and Seafood Technology. Chapman and Hall, London.
Laemmli, U. K. 1970. Cleavage en struktural proteins during the assembly of the head of bactioriophage T 4. Nature 227:680-685.
Lehninger, A. L. 1998. Dasar-dasar Biokimia. Terjemahan : Thenawidjaja, M. Erlangga, Jakarta.
Muchtadi, D dan E. Setiawaty. 1985. Studies on dendeng an Indonesian traditional preserved meat product. Media Teknologi Pangan. 2(1) : 23-29.
Muchtadi, D. 1989. Petunjuk Laboratorium Evaluasi Nilai Gizi Protein. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Muchtadi, D. 1989. Protein : Sumber-Sumber dan Teknologi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Muchtadi, T. R. dan Sugiono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Muchtadi, D. 1993. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Program Pasca Sarjana. Insitut Pertanian Bogor, Bogor.
Muchtadi, D., Astawan, M. dan N. S Palupi. 1993. Metabolisme Zat Gizi Sumber, Fungsi dan Kebutuhan bagi Kebutuhan Manusia. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Nur, M. dan H. Adijuwana.1987. Teknik Separasi dalam Analisis Pangan. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pramono, A. I., D. Muchatdi, T. R. Muchtadi. 1985. Pembuatan dan evaluasi tahu bercita rasa daging. Media Teknologi Pangan 2(1):44-54.
Purnomo, H. 1997. Studi tentang stabilitasprotein daging kering dan dendeng selama penyimpanan. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya, Malang.
Ridwanto, I. 2003. Kandungan gizi dan palatabilitas sosis daging sapi dengan substitusi tepung tulang rawan ayam pedaging sebagai bahan pengisi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Saunders R. M, M. A. Connor, A. N. Booth, E.M. Bickoff and G.O. Kohler. 1972. Measurement of digestibility of alfalfa protein concentrates by in vivoand in vitro methods. J. Nut. 103:530-535.
Setiawaty, E. 1985. Mempelajari beberapa sifat protein dendeng sapi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Shahidi, S. 1998. Flavor of Meat, Meat Products and Sea Food. Thomson Science, London.
Sudarisman, T dan Elvina A. R. 1996. Petunjuk Memilih Produk Ikan dan Daging. Penebar Swadaya, Jakarta.
Thohari, M, B. Masyud, S. Supraptini. dan M. Cece. 1993. Analisis Perbandingan Polimorfisme Protein Darah dan Berbagai Jenis Rusa di Indonesia dengan Menggunakan Elektroforesis. Konservasi Sumber Daya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Tornberg. 2004. Effect of heat on meat proteins-implication on stucture and quality of meat product. J. Meat Sci 70:493-508.
Widayanto, H. 2002. Komposisi kimia dan karakteristik organoleptik abon daging domba dan daging kambing yang dimasak dengan metode pemasakan yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Winarno , F. G. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia Pustaka, Jakarta.

Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta.